Friday, October 23, 2015

Cerpen ; The Hero in Our Family

Sebelumnya kehidupanku baik baik saja, sampai saat itu aku melihat email ayahku yang dikirim kepada temannya tertulis bahwa ia meminta bantuan uang untuk biaya sekolah anak anak. Aku terdiam dan kaget melihat email permohonan itu, buat apa? Sejauh ini kondisi ekonomi keluarga ku terlihat baik. Aku merasa bersalah melihat email yang seharusnya menjadi privasi itu, namun aku terus bertanya tanya apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku?

Ayahku adalah ayah paling hebat sedunia. Saat aku kecil beliau selalu mendongengi cerita sebelum tidur, beliau selalu menceritakan kisah hidupnya yang sangat menarik untuk ia jadikan motivasi buatku. Beliau juga tak pernah menuntut aku untuk menjadi apa, katanya, terserah aku mau menjadi apa, jadilah apa yang aku suka, karna itu aku ingin menjadi seorang penulis. Ya, ayahku seorang penulis.

Krisis ekonomi dalam keluargaku mulai terjadi, saat ayahku menginvestasikan uang nya untuk trading. Di awal memang kegiatan trading ini cukup baik dan menghasilkan banyak uang. Namun, manusia memang tidak pernah merasa puas, ayahku mulai menginvestasikan uangnya yang lebih besar lagi, hingga di suatu hari aku melihat ayahku mondar mandir didepan laptop nya, ia terlihat bingung dan sangat panik.

Kejadian itu mulai sering terjadi bahkan ayahku sampai berteriak teriak kesal. Hal ini mulai meresahkan keluarga kami, ibuku bingung melihat ayahku selalu tampak selalu cemas, hingga ibuku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku. Ternyata akhir akhir ini ayahku terlihat cemas dan gelisah adalah karna tradingnya yg mengalami lost dalam jumlah yang sangat besar.

Ayah menangis, ibu ku pun ikut menangis. Minggu minggu berikutnya keadaan keluarga kami semakin buruk, debt collector dari berbagai bank mulai berdatangan untuk menagih hutang ayahku, yang ternyata ayahku meminjam uang dari bank juga untuk menginvestasikan uangnya di trading.


Ayahku mulai ketakutan saat itu, kondisi ekonomi kami sangat buruk, surat rumah kami disita oleh bank, mobil kami pun dijual untuk membayar hutang. Namun itu semua belum cukup, hutang ayahku masih sangat banyak. Ayahku mulai ketakutan jika ada orang yang kerumah kami, takut takut mereka adalah debt collector yang ingin menagih hutang, ayahku menjadi lebih pendiam, kadang tiap malam ayahku teriak teriak sambil menangis. Ayahku mengalami depresi yang cukup berat.

Aku adalah anak pertama dari empat bersaudara, aku masih sma kelas 2, dimana masa masa itu adalah masa anak anak seumuranku bersenang senang, jalan jalan ketempat wisata bersama teman, menggunakan gadget yang canggih serta barang barang branded lainnya. Sebagai remaja aku sangat iri  melihat teman temanku yang bisa pergi dan membeli barang barang apa yang mereka mau. Sedangkan aku? Kata ibu, aku anak yang paling besar, harus bisa mengerti kondisi keluarga kami. Aku tidak bisa neko neko. Aku tidak bisa seperti teman temanku yang lain.

Depresi ayahku semakin parah, bahkan ia terus terusan mencoba untuk bunuh diri, berbagai psikiater pun didatangkan untuk meringankan psikis ayahku, berbagai obat penenang juga diberikan kepada ayahku, namun saat ia mulai teringat masalahnya, ia mulai mencoba melakukan bunuh diri lagi. Akhirnya ayahku pun dimasukan kedalam Rumah Sakit Jiwa untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih intensif untuk keadaan psikisnya.

Karna masalah psikis yang mengguncang jiwa ayahku, maka fisik ayahku pun ikut memperhatinkan, ia menjadi lebih kurus dari sebelumnya, kondisi badannya terlihat lemah dan wajahnya selalu lesu. Aku sangat sedih dan prihatin melihat kondisi ayahku seperti ini. Kemana ayahku yang dulu? Ayahku yang selalu percaya diri, yang selalu bersemangat saat menceritakan kisah kisahnya, yang selalu semangat memotivasi anak anaknya. Sekarang? Bahkan ia kehilangan semangat hidupnya, mencoba lari dari kenyataan, dan krisis dalam kepercayaan dirinya.

Aku tak pernah menangis dihadapan kedua orangtua ku, aku selalu ingin menjadi anak yang kuat dan tegar. Namun, disaat itu juga hatiku sangat rapuh, aku tidak tega melihat kedua orangtua ku sedih, mati matian menjual apapun untuk tetap bisa melanjutkan kehidupan kami seperti biasa. Kadang aku pun merasa belum mampu menerima apa yang telah terjadi pada keluargaku. Mengapa harus seperti ini? Mengapa harus hidup susah? Mengapa harus keluargaku?

Siapa lagi yang akan menghasilkan uang jika ayah sedang sakit? Ayah tidak bisa menulis saat keadaan psikisnya terguncang. Seorang penulis menggunakan akal pikiran dalam menulis bukan? Bagaimana ia bisa menulis jika yang ada dipikirannya malah ingin bunuh diri? Ya Tuhan…kasian ayahku, seberat itukah bebannya hingga ia berpikiran ingin mengakhiri hidup? Aku terus menangis jika mengingat ayah seperti ini.
Saudara saudara dari ayah dan ibu pun juga turut ikut membantu keluarga ku, mereka menyumbangkan beberapa uang mereka untuk keluarga kami, ya Tuhan…sebegitu terpurukkah keluargaku hingga harus dibantu seperti ini? Terkadang aku malu dengan kondisi keluargaku seperti ini, namun mau bagaimana lagi, seperti inilah keluarga ku sekarang, serba tidak mencukupi seperti dulu.

Cukup lama ayah keluar dari RSJ dan mulai terbuka kembali pikirannya. Ayah harus bangkit, karna ayah adalah satu satunya harapan dikeluarga kami yang akan bisa mengembalikan kondisi keluarga kami seperti semula. Namun, prosen “kembali” tak secepat itu. Hutang ayah masih banyak, dan tidak bisa langsung dibayar. Ayah tidak punya pekerjaan tetap, sesudah habis masa kontraknya di staf ahli DPR penghasilan ayah hanya dari menulis artikel artikel pesanan temannya dan menulis artikel di Koran, saat itu masih dapat mencukupi kehidupan keluarga kami, namun sekarang ia yang harus mencari teman temannya untuk ditawari keahliannya dalam menulis.

Penghasilan ayah tiap bulan tak menentu, terkadang ada bulan dimana ia tidak bisa menghasilkan apa apa, dan pengasilan ayah pun untuk keluarga kami terpotong untuk membayar tagihan bank yang dicicil tiap bulan. Ya, keluarga kami sekarang hidup hanya untuk kebutuhan sangan dan papan, untuk tersier masih susah untuk capai.

Peranku disini cuma bisa membantu tidak menyusahkan mereka, aku menolak ajakan teman teman ku untuk jalan jalan yang sebenarnya ingin sekali aku ikut, namun aku masih prihatin dengan kondisi ekonomi keluargaku, jangankan untuk jalan jalan, untuk bayar SPP sekolah adikku aja sudah cukup susah sekarang. Aku pun tidak minta dibelikan barang barang yang lagi trend dikalangan teman temanku, aku tidak ingin orangtua ku dipusingkan oleh keinginan remaja yang sebenarnya hanya untuk kesenangan semata.
Aku tidak pernah bilang masalah keluarga ku pada teman temanku, aku tidak ingin merasa dikasihani oleh mereka, cukuplah aku dan keluargaku yang simpan semua permasalahan ini. Aku bersikap seperti biasa dihadapan teman temanku, seolah tak ada sesuatu yang terjadi padaku. Mereka tidak tahu, dan tak akan pernah tau…

Sudah hampir 2tahun kondisi keluargaku masih seperti ini, namun dibalik semua masalah ini, aku senang bahwa ayahku sudah kembali sehat seperti awal, ya walaupun tidak seratus persen benar benar sehat. Ayah terus bersemangat mencari kerja untuk keluarga kami. Aku sangat bangga ayah bisa bangkit dari keterpurukan ini, dimana tidak semua orang bisa bersikap seperti ayah. Sungguh aku pun merasa masalah ini sangat sulit dihadapi, bayangkan saja, hutang masih banyak, surat rumah belum bisa ditebus, mobil tidak ada. Namun ayah masih bisa bersikap optimis bahwa semuanya akan kembali seperti awal, bahwa semuanya akan baik baik saja.

I proud to be your daughter, Dad. You’re the best Dad ever, the hero in our family. I love you.

No comments:

Post a Comment