Ayahku adalah ayah paling
hebat sedunia. Saat aku kecil beliau selalu mendongengi cerita sebelum tidur,
beliau selalu menceritakan kisah hidupnya yang sangat menarik untuk ia jadikan
motivasi buatku. Beliau juga tak pernah menuntut aku untuk menjadi apa,
katanya, terserah aku mau menjadi apa, jadilah apa yang aku suka, karna itu aku
ingin menjadi seorang penulis. Ya, ayahku seorang penulis.
Krisis ekonomi dalam
keluargaku mulai terjadi, saat ayahku menginvestasikan uang nya untuk trading.
Di awal memang kegiatan trading ini cukup baik dan menghasilkan banyak uang.
Namun, manusia memang tidak pernah merasa puas, ayahku mulai menginvestasikan
uangnya yang lebih besar lagi, hingga di suatu hari aku melihat ayahku mondar
mandir didepan laptop nya, ia terlihat bingung dan sangat panik.
Kejadian itu mulai sering
terjadi bahkan ayahku sampai berteriak teriak kesal. Hal ini mulai meresahkan
keluarga kami, ibuku bingung melihat ayahku selalu tampak selalu cemas, hingga
ibuku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku. Ternyata akhir akhir
ini ayahku terlihat cemas dan gelisah adalah karna tradingnya yg mengalami lost
dalam jumlah yang sangat besar.
Ayah menangis, ibu ku pun
ikut menangis. Minggu minggu berikutnya keadaan keluarga kami semakin buruk,
debt collector dari berbagai bank mulai berdatangan untuk menagih hutang ayahku,
yang ternyata ayahku meminjam uang dari bank juga untuk menginvestasikan uangnya
di trading.
Ayahku mulai ketakutan
saat itu, kondisi ekonomi kami sangat buruk, surat rumah kami disita oleh bank,
mobil kami pun dijual untuk membayar hutang. Namun itu semua belum cukup,
hutang ayahku masih sangat banyak. Ayahku mulai ketakutan jika ada orang yang
kerumah kami, takut takut mereka adalah debt collector yang ingin menagih
hutang, ayahku menjadi lebih pendiam, kadang tiap malam ayahku teriak teriak
sambil menangis. Ayahku mengalami depresi yang cukup berat.
Aku adalah anak pertama
dari empat bersaudara, aku masih sma kelas 2, dimana masa masa itu adalah masa
anak anak seumuranku bersenang senang, jalan jalan ketempat wisata bersama
teman, menggunakan gadget yang canggih serta barang barang branded lainnya.
Sebagai remaja aku sangat iri melihat
teman temanku yang bisa pergi dan membeli barang barang apa yang mereka mau.
Sedangkan aku? Kata ibu, aku anak yang paling besar, harus bisa mengerti
kondisi keluarga kami. Aku tidak bisa neko neko. Aku tidak bisa seperti teman
temanku yang lain.
Depresi ayahku semakin
parah, bahkan ia terus terusan mencoba untuk bunuh diri, berbagai psikiater pun
didatangkan untuk meringankan psikis ayahku, berbagai obat penenang juga diberikan
kepada ayahku, namun saat ia mulai teringat masalahnya, ia mulai mencoba
melakukan bunuh diri lagi. Akhirnya ayahku pun dimasukan kedalam Rumah Sakit
Jiwa untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih intensif untuk keadaan
psikisnya.
Karna masalah psikis yang
mengguncang jiwa ayahku, maka fisik ayahku pun ikut memperhatinkan, ia menjadi
lebih kurus dari sebelumnya, kondisi badannya terlihat lemah dan wajahnya
selalu lesu. Aku sangat sedih dan prihatin melihat kondisi ayahku seperti ini.
Kemana ayahku yang dulu? Ayahku yang selalu percaya diri, yang selalu
bersemangat saat menceritakan kisah kisahnya, yang selalu semangat memotivasi
anak anaknya. Sekarang? Bahkan ia kehilangan semangat hidupnya, mencoba lari
dari kenyataan, dan krisis dalam kepercayaan dirinya.
Aku tak pernah menangis
dihadapan kedua orangtua ku, aku selalu ingin menjadi anak yang kuat dan tegar.
Namun, disaat itu juga hatiku sangat rapuh, aku tidak tega melihat kedua
orangtua ku sedih, mati matian menjual apapun untuk tetap bisa melanjutkan
kehidupan kami seperti biasa. Kadang aku pun merasa belum mampu menerima apa
yang telah terjadi pada keluargaku. Mengapa harus seperti ini? Mengapa harus
hidup susah? Mengapa harus keluargaku?
Siapa lagi yang akan
menghasilkan uang jika ayah sedang sakit? Ayah tidak bisa menulis saat keadaan
psikisnya terguncang. Seorang penulis menggunakan akal pikiran dalam menulis
bukan? Bagaimana ia bisa menulis jika yang ada dipikirannya malah ingin bunuh
diri? Ya Tuhan…kasian ayahku, seberat itukah bebannya hingga ia berpikiran
ingin mengakhiri hidup? Aku terus menangis jika mengingat ayah seperti ini.
Saudara saudara dari ayah
dan ibu pun juga turut ikut membantu keluarga ku, mereka menyumbangkan beberapa
uang mereka untuk keluarga kami, ya Tuhan…sebegitu terpurukkah keluargaku
hingga harus dibantu seperti ini? Terkadang aku malu dengan kondisi keluargaku
seperti ini, namun mau bagaimana lagi, seperti inilah keluarga ku sekarang,
serba tidak mencukupi seperti dulu.
Cukup lama ayah keluar
dari RSJ dan mulai terbuka kembali pikirannya. Ayah harus bangkit, karna ayah
adalah satu satunya harapan dikeluarga kami yang akan bisa mengembalikan
kondisi keluarga kami seperti semula. Namun, prosen “kembali” tak secepat itu.
Hutang ayah masih banyak, dan tidak bisa langsung dibayar. Ayah tidak punya
pekerjaan tetap, sesudah habis masa kontraknya di staf ahli DPR penghasilan
ayah hanya dari menulis artikel artikel pesanan temannya dan menulis artikel di
Koran, saat itu masih dapat mencukupi kehidupan keluarga kami, namun sekarang
ia yang harus mencari teman temannya untuk ditawari keahliannya dalam menulis.
Penghasilan ayah tiap
bulan tak menentu, terkadang ada bulan dimana ia tidak bisa menghasilkan apa
apa, dan pengasilan ayah pun untuk keluarga kami terpotong untuk membayar
tagihan bank yang dicicil tiap bulan. Ya, keluarga kami sekarang hidup hanya
untuk kebutuhan sangan dan papan, untuk tersier masih susah untuk capai.
Peranku disini cuma bisa
membantu tidak menyusahkan mereka, aku menolak ajakan teman teman ku untuk jalan
jalan yang sebenarnya ingin sekali aku ikut, namun aku masih prihatin dengan
kondisi ekonomi keluargaku, jangankan untuk jalan jalan, untuk bayar SPP
sekolah adikku aja sudah cukup susah sekarang. Aku pun tidak minta dibelikan
barang barang yang lagi trend dikalangan teman temanku, aku tidak ingin
orangtua ku dipusingkan oleh keinginan remaja yang sebenarnya hanya untuk
kesenangan semata.
Aku tidak pernah bilang
masalah keluarga ku pada teman temanku, aku tidak ingin merasa dikasihani oleh
mereka, cukuplah aku dan keluargaku yang simpan semua permasalahan ini. Aku
bersikap seperti biasa dihadapan teman temanku, seolah tak ada sesuatu yang
terjadi padaku. Mereka tidak tahu, dan tak akan pernah tau…
Sudah hampir 2tahun
kondisi keluargaku masih seperti ini, namun dibalik semua masalah ini, aku
senang bahwa ayahku sudah kembali sehat seperti awal, ya walaupun tidak seratus
persen benar benar sehat. Ayah terus bersemangat mencari kerja untuk keluarga
kami. Aku sangat bangga ayah bisa bangkit dari keterpurukan ini, dimana tidak
semua orang bisa bersikap seperti ayah. Sungguh aku pun merasa masalah ini
sangat sulit dihadapi, bayangkan saja, hutang masih banyak, surat rumah belum
bisa ditebus, mobil tidak ada. Namun ayah masih bisa bersikap optimis bahwa
semuanya akan kembali seperti awal, bahwa semuanya akan baik baik saja.
I proud to be your
daughter, Dad. You’re the best Dad ever, the hero in our family. I love you.
No comments:
Post a Comment