Perekonomian Indonesia BAB 4 - BAB 10
BAB 4
Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia
A. Masalah sumber Daya Alam struktur penuasaan Sumber daya alam
Indonesia
memiliki keanekaragaman sumberdaya alam hayati yang berlimpah ruah
sehingga dikenal sebagai negara MEGABIODIVERSITY. Keanekaragaman
hayatinya terbanyak kedua diseluruh dunia.
Wilayah
hutan tropisnya terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas
alam, emas, tembaga dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan
laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Lebih dari itu, Indoensia memiliki
tanah dan dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis
ekologi. Menempati hampir 1.3 persen dari wilayah bumi, mempunyai
kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12 persen
jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan,
dan 10 persen sisa area hutang tropis, yang kedua setelah Brazil (world
Bank 1994). Walaupun demikian persoalan tentang pengelolaan sumber daya
alam hanya mendapat perhatian sedikit dari para pengambil kebijakan.
Ada apa dengan pengelolaan sumber daya alam Indonesia ?
§ DI SEKTOR MIGAS
Masalah
kebijakan tambang migas di Indonesia : Minyak dan Gas Bumi (Migas),
diyakini banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi
Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, Migas memang
berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain pada pendapatan (yang
katanya) negara. Oleh karena itu, semua mata jadi tertutup, dan kita
tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam penambangan
migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas Migas
di Indonesia bersama para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang
atas kekayaan alam Indonesia.
Kesalahan
utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU
No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diikuti
penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah
Indonesia dengan Freeport McMoran. Disusul
dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum
pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan
eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi
pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. Dari
kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam
posisi lebih rendah dibanding posisi pemodal yang disayanginya.
Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan
pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
§ DI SEKTOR KEHUTANAN
Kawasan
hutan lindung/konservasi yang saat ini benar-benar sudah terancam
keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi
menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel/BHP, Tahura Poboya-Paneki oleh PT
Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman Nasional Meru
Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan
PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya yang
hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti : Taman
Nasional Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio
Tinto, Taman Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan Tropikal Mining
dan Sari Agrindo Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan
Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung Meratus –
Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome; Taman
Nasional Wanggameti oleh PT. BHP; Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo
Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu, oleh PT. Antam Tbk.
B. Kebijakan Sumber Daya Alam Struktur Penguasaan Sumber Daya Alam
§ Sektor Kehutanan
Dalam
sepuluh tahun terakhir terjadi degradasi hutan mencapai lebih dari 2
juta hektar per tahun, lebih cepat dibanding era tahun 1980-an dengan
tingkat degradasi 1 juta per tahun. Sampai tahun 2007, terdapat 322 izin
Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dengan luas 2,78 juta hektar. Sementara,
266 izin HTI dengan luas 10 juta hektar, hanya 3,4 juta hektar yang
ditanami, sedangkan sisanya ditelantarkan. Penebangan komersil secara
ekspansif untuk konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit skala
besar yang luasnya mencapai 20 juta hektar lebih, sementara yang sudah
ditanami seluas 7,8 juta hektar, ditambah dengan kawasan pertambangan
yang juga mengkonversi hutan sehingga semakin didegradasikannya kawasan
hutan Indonesia.
Kawasan
hutan lindung pun terus mengalami penciutan. Tahun 2004, luas kawasan
hutan lindung Indonesia mencapai 55,2 juta hektar. Fakta terkini,
Indonesia tinggal memiliki kawasan hutan lindung seluas 39 juta hektar
(2009). Terjadi penciutan kawasan hutan lindung seluas 29 % dalam 5
tahun terakhir. Adapun kawasan hutan lindung yang terancam ditambang
sejumlah 11,4 juta hektar. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah
mengakomodir investasi yang mengorbankan hutan, seperti pertambangan
dan perkebunan kelapa sawit. Aturan tersebut diantaranya PP No 2 Tahun
2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan
Kawasan Hutang untuk Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan.
§ Sektor Pertambangan
Luas
keseluruhan area kontrak karya mineral dan batubara telah mencapai
lebih dari 44 juta hektar atau mencapai 44 % luas hutan Indonesia.
Penting untuk diketahui, sebagian besar lokasi kontrak mineral dan
batubara umumnya berada di kawasan hutan. Luas area yang diserahkan
pemerintah melalui skema-skema kontrak pertambangan tersebut mencapai
23% dari luas daratan Indonesia.
Ekspansi
wilayah tambang ini terus dimungkinkan dengan Undang-undang No. 4 tahun
2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Kendati Undang-undang tersebut
menyebutkan luas wilayah pertambangan mineral pada masa produksi seluas
25.000 hektar dan 10.000 hektar untuk batu bara, lebih kecil dari luas
wilayah kontrak pertambangan yang ada seperti KP Batu Bara seluas
100.000 hektar. Namun tidak ada ketegasan membatasi jumlah ijin bagi
satu perusahaan atau berbagai perusahaan di setiap wilayah kawasan yang
hendak ditambang.
Celakanya,
berdasarkan pasal 162 UU No 4 Tahun 2009, rakyat berpeluang
dikriminalisasi oleh negara mana kala mereka mempertahankan kawasan
hidup mereka dengan memilih sumber penghidupan selain tambang. Sementara
itu, disaat ruang kelola mereka hendak dijadikan kawasan tambang oleh
pemerintah, posisi rakyat berada pada posisi yang lemah, karena
penentuan kawasan tambang cukup hanya dikonsultasikan ke rakyat. Dan
rakyat bukan sebagai penentu.
§ Sektor Migas
Lebih
dari 95 juta hektar konsesi migas dikuasai oleh perusahaan-perusahaan
raksasa luar negeri. Sebanyak 85 persen produksi migas nasional
dikendalikan oleh perusahaan swasta asing. Keseluruhan kegiatan
eksploitasi migas, murni untuk mengejar keuntungan semata dan
mengabaikan kelestarian alam.
Lahirnya
UU No 22/2001 tentang minyak dan gas bumi menegaskan kedudukan usaha di
bidang ekploitasi dan perdagangan migas sebagai usaha untuk mengejar
keuntungan. Lebih dari 1.314 perusahaan terlibat dalam kegiatan bisnis
migas. Sebanyak 100 perusahaan menguasai kegiatan produksi di hulu.
Umumnya, perusahaan tersebut adalah perusahaan asing, sisanya adalah
pertamina dan perusahaan kecil-kecil yang bekerja sebagai sub-kontraktor
asing dan pedagang ritel BBM.
Penentuan
harga minyak sesuai dengan mekanisme pasar membuat harganya fluktuatif
dan cenderung meninggi, menciptakan ketidakadilan atas akses energi.
Keuntungan besar yang didapatkan oleh perusahaan migas diinvestasikan
kembali secara mayoritas di sektor energi fossil, bukannya di energi
terbarukan, kian memperparah kondisi perubahan iklim. Sementara itu,
rakyat di daerah dan jalur produksi migas secara langsung dan kuat terus
menerus menderita dari dampak lingkungan yang terjadi, sebagaimana
dialami penurunan tangkapan ikan nelayan di perairan Kabupaten
Indramayu.
§ Sektor Kelautan
Sekitar
147 juta orang saat ini tinggal dikawasan pesisir Indonesia, termasuk
20 juta nelayan di dalamnya, hidup dalam kondisi terancam kekurangan
pangan dan bencana ekologis akibat ketiadaan perhatian pemerintah atas
nasib mereka, serta kebijakan pembangunan yang bias darat.
Kawasan
pantai dan pesisir juga makin rentan gelombang tsunami, salinitas dan
naiknya muka laut, sejak diserbu proyek reklamasi pembangunan kawasan
industri, perniagaan, dan permukiman mewah. Hal ini berakibat kerusakan
dan berkurangnya hutan mangrove. Maraknya aktivitas konversi hutan
mangrove untuk kegiatan industri pertambakan dan reklamasi pantai yang
terjadi secara terus menerus dalam 25 tahun terakhir, menjadikan kurang
dari 1,9 juta hektar kawasan tersisa. Dari empat proyek reklamasi pantai
di Padang, Sumatera Barat, Jakarta, Makassar dan Manado, telah lebih
dari 5 ribu hektar area ekosistem mangrove, lamun, maupun terumbu karang
terancam. Kini, lebih dari 10 proyek reklamasi pantai secara masif
terjadi di Indonesia.
Dalam
15 tahun terakhir, pesisir dan laut Indonesia telah menjadi praktik
pencurian ikan oleh 10 negara. Mereka adalah Thailand, Fhilipina,
Taiwan, Korea, Panama, China, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar.
Pencurian tersebut melenyapkan sekitar 30-50 persen total potensi
perikanan tangkap nasional setiap tahun.
Sekitar
90 persen produksi udang kita memasok kebutuhan asing, 37 persen untuk
Amerika Serikat, 27 persen untuk Jepang, 15 persen untuk Eropa.
Sementara
itu, pertambakan juga dimonopoli asing. Di Lampung, sekitar 60 persen
laha produktif pertambakan dikuasai satu perusahaan multinasional Charon
Phokpand, yang juga menguasai 50 persen total ekspor udang nasional.
Sejak awal, pembangunan pertambakan (aquaqulture) di Indonesia
melibatkan utang Asia Development Bank (ADB) dan Bank Dunia. Jika
dirata-rata, kontribusi utang luar negeri di sektor ini mencapai Rp 39,5
miliar per tahun, sejak 1983-2013 mendatang.
Kegiatan-kegiatan
ekstraksi di darat juga penyebab krisis laut, salah satunya
penambangan logam, batubara dan migas. Tak hanya membawa hasil
sedimentasi ke muara industri tambang juga membuang limbah beracunnya
langsung ke laut, sehingga berdampak pada kehidupan nelayan.
C. Dominasi Sumber Daya Alam Indonesia
Seperti
yang kita ketahui, SDA Indonesia sangat melimpah ruah, hal ini membuat
bangsa lain tertarik dengan Indonesia. Namun sayang, SDM kita jumlahnya
masih sedikit ketimbang dengan SDAnya. Saya rasa dengan sedikitnya SDM
pun kita masih bisa mengelola SDA kita dengan mandiri, namun banyak dari
SDM kita yang memilih mengelola SDA negeri orang lain dengan alasan
materi. Gak salah sih, zaman sekarang siapa sih yang tidak mau uang ?
Sejak zaman Alm Presiden Soekarno, banyak perusahaan asing yang ingin
mengambil alih SDA Indonesia, namun Presiden Soekarno menolaknya,
menurut dia perusahaan asing hanyalah monopoli keuangan, kapitalisme,
dan neolib. Presiden Soekarno juga pernah menolak bantuan dari IMF yang
menurut dia hanya akan memberati keuangan negara. Soekarno percayaan
dengan kemampuan rakyatnya sendiri.
Banyak
perusahaan asing yang menekan kontrak dengan pemerintahan Indonesia
sejak era pemerintahan Alm Soeharto hingga sekarang (Presiden SBY) telah
mengakar di negeri ini, contoh saja Freeport, Chevron, Shell, Suzuki,
Honda, Yamaha, dll. Yang perlu di perhatikan adalah agar kepemilikan
saham asing di industri nasional tidak begitu dominan, sebab bila itu
terjadi maka perekonomian nasinal bisa pincang. Dominasi pihak asing
kini semakin meluas dan menyebar pada sektor-sektor strategis
perekonomian.Pemerintah disarankan menata ulang strategi pembangunan
ekonomi agar hasilnya lebih merata dirasakan rakyat dan berdaya saing
tinggi menghadapi persaingan global. Per Maret 2011 pihak asing telah
menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar
Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai
asing.Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni
2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen. Hanya 15 bank yang
menguasai pangsa 85 persen.Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki
asing.Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank
dengan porsi bervariasi.
Produk Domestik Bruto (PDB),
Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi
A. PDB (Produk Domestik Bruto)
Produk
domestik bruto (PDB) merupakan salah satu metode untuk menghitung
pendapatan nasional. PDB diartikan sebagai nilai keseluruhan semua
barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka
waktu tertentu (biasanya per tahun). PDB menghitung total produksi dari
suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan
memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak.
Menghitung
Produk Domestik Bruto / PDB / Produk Domestik Kotor Menurut McEachern
(2000:147) PDB dapat dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu
pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. Pendekatan pengeluaran
pada GDP, dibagi menjadi empat komponen, konsumsi, investasi, pembelian
pemerintah, dan ekspor netto.
1. Konsumsi,
atau secara lebih spesifik pengeluaran konsumsi perorangan, adalah
pembelian barang dan jasa akhir oleh rumah tangga selama satu tahun.
Contohnya : dry cleaning, potong rambut, perjalanan udara, dsb.
2. Investasi,
atau secara lebih spesifik investasi domestik swasta bruto, adalah
belanja pada barang kapital baru dan tambahan untuk persediaan.
Contohnya : bangunan dan mesin baru yang dibeli perusahaan untuk
menghasilkan barang dan jasa.
3. Pembelian
pemerintah, atau secara lebih spesifik konsumsi dan investasi bruto
pemerintah, mencakup semua belanja tingkat pemerintahan pada barang dan
jasa, dari pembersihan jalan sampai pembersihan ruang pengadilan, dari
buku perpustakaan sampai upah petugas perpustakaan.
4. Ekspor
netto, sama dengan nilai ekspor barang dan jasa suatu negara dikurangi
dengan impor barang dan jasa negara tersebut. Ekspor netto tidak hanya
meliputi nilai perdagangan barang tetapi juga jasa.
Rumus
umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah: PDB = konsumsi +
investasi + pengeluaran pemerintah + ekspor – impor Sementara pendekatan
pendapatan menghitung pendapatan yang diterima faktor produksi: PDB =
sewa + upah + bunga + laba
B. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi
a. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan
ekonomi ialah proses kenaikan output perkapita yang terus menerus dalam
jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu
indikator keberhasilan pembangunan Pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan
bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan.
Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya
kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka
dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun.
Pertumbuhan
ekonomi dapat menurunkan tingkat kemiskinan dengan menciptakan lapangan
pekerjaan dan pertumbuhan jumlah pekerja yang cepat dan merata.
Pertumbuhan ekonomi juga harus disertai dengan program pembangunan
sosial.
b. Perubahan Struktur Ekonomi
Struktur
perekonomian adalah komposisi peranan masing-masing sektor dalam
perekonomian baik menurut lapangan usaha maupun pembagian sektoral ke
dalam sektor primer, sekunder dan tersier.
Ada beberapa faktor yang menentukan terjadinya perubahan struktur ekonomi antara lain
1. Produktivitas tenaga kerja per sektor secara keseluruhan
2. Adanya modernisasi dalam proses peningkatan nilai tambah dari bahan baku, barang setengah jadi dan barang jadi.
3. Kreativitas dan penerapan teknologi yang disertai kemampuan untuk memperluas pasar produk/jasa yang dihasilkannya.
4. Kebijakan pemerintah yang mendorong pertumbuhan dan pengembangan sektor dan komoditi unggulan
5. Ketersediaan infrastruktur yang menentukan kelancaran aliran distribusi barang dan jasa serta mendukung proses produksi.
6. Kegairahan masyarakat untuk berwirausaha dan melakukan investasi secara terus-menerus
7. Adanya pusat-pusat pertumbuhan baru yang muncul dalam wilayah daerah
8. Terbukanya perdagangan luar daerah dan luar negeri melalui ekspor-impor
c. Pertumbuhan Selama Orde Baru hingga Saat ini
Selama
tahun 1966 – 1997, pertumbuhan ekonomi relative tinggi dengan ukuran
pendapatan nasional perkapita tahun 1968 sebesar US$ 60 dan akhir tahun
1980an sebesar US$ 500. Pertumbuhan ekonomi 7-8% selama tahun 1970an dan
menurun 3 – 4% dalam tahun 198an. Perkonomian nasional bergantungan
valas dari ekspor barang primer (minyak dan pertanian). Pemasukan valas
ini bergantung pada:
a) Kondisi pasar internasional komoditi tersebut.
b) Harga komoditi tersebut
c) Pertumbuhan ekonomi dunia (Jepang, USA dan Eropa merupakan pasar utama Indonesia).
Pada tahun 1999, Thailand yang mengalami krisis yang sama dapat menumbuhkan ekonomi yang lebih tinggi dari Indonesia.
Sebelum
krisis PNB Indonesia lebih tinggi dari China, tapi setelah krisis
Indonesia dibawah China, sebagai akibat kredit macet antar bank,
produksi industry manufaktur menurun tajam, sehingga pertumbuhan ekonomi
mengalami pertumbuhan negatif (menurun).
Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono, dinilai sukses menyeimbangkan pertumbuhan
ekonomi dengan agenda demokratisasi. Situasi ini berbeda dengan era Orde
Baru di mana ekonomi tumbuh namun demokrasi terabaikan. Biaya
yang mahal seperti pelanggaran hak asasi manusia di berbagai tempat,
korupsi merajalela, kebocoran anggaran, dan pertumbuhan ekonomi yang
tidak merata.
d. Faktor faktor Penentu Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Faktor penentu pertumbuhan ekonomi:
a) Faktor
internal yang mencakup factor ekonomi dan non ekonomi (politik, social
dan keamanan). Faktor ekonomi mencakup: pengendalian terhadap inflasi,
cadangan devisa, rasio hutang Ln terhadap PDB, dan kondisi perbankan,
serta kesiapan dunia usaha.
b) Faktor eksternal adalah faktor-faktor ekonomi yang mencakup perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi dunia.
e. Perubahan Struktur Ekonomi
Perubahan
struktur ekonomi/transformasi structural merupakan serangkaian
perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam aggregate
demand, perdagangan LN, dan aggregate supply untuk mendukung pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi.
Teori perubahan struktur ekonomi:
a) Teori Arthur Lewis (Teori migrasi)
Teori
ini membahas pembangunan di pedesaan (perekonomian tradisional dengan
pertanian sebagai sector utama) dan perkotaaan (perekonomian modern
dengan industry sebagai sector utama).
b) Teori Hollis Chenery (Teori transformasi structural/pattern of development)
Teori
ini memfokuskan pada perubahan struktur ekonomi di LDCs yang mengalami
transformasi dari pertanian tradisional ke sector industry sebagai
penggerak utama pertumbuhan. Penelitian Chenery menunjukkan peningkatan
pendapatan perkapita merubah:
§ pola konsumsi dari makanan dan kebutuhan pokok ke produk manufaktur dan jasa
§ Akumulasi capital secara fisik dan SDM
§ Perkambangan kota dan industry
§ Penurunan laju pertumbuhan penduduk
§ Ukuran keluarga yang kecil
§ Sector ekonomi didominasi oleh sector non primer terutama industry
Kemiskinan dan Kesenjangan
A. Konsep dan Pengertian Kemiskinan
Berdasarkan
definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos (2002), jumlah
penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta
jiwa (43%) diantaranya masuk kategori fakir miskin. Secara keseluruhan,
prosentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk
Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan 7,7 persen. Ini berarti bahwa
secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18
orang diantaranya adalah orang miskin, yang terdiri dari 10 orang bukan
fakir miskin dan 8 orang fakir miskin (Suharto, 2004:3).
B. Penyebab dan Dampak Kemiskinan
Kemiskinan
identik pula dengan negara berkembang. Sebenarnya, apa yang terjadi di
negara berkembang hingga sulit untuk menjadi maju? Ada beberapa faktor
penyebab yang berasal dari individu sebuah negara yang menyebabkan
mereka tetap dianggap miskin. Faktor kemiskinan tersebut banyak sekali
dihubungkan C.menyebabkan sulitnya mengentaskan kemiskinan.
1. Dilihat dari Faktor Individu
Penyebab
individual yakni kemiskinan sebagai akibat dari perilaku atau kemampuan
dari orang tersebut. Misalnya, malas atau malah menunggu sesuatu yang
sifatnya spekulasi.
2. Dilihat dari Faktor Keluarga
Penyebab
keluarga bukan lagi faktor individu yang sering dilontarkan oleh
kelompok yang mengatakan kemiskinan tidak akan timbul jika adanya
kemauan kuat dari dirinya. Faktor ini menghubungkan kemiskinan karena
keadaan dan pendidikan keluarga.
3. Dilihat dari Faktor Subkultural
Penyebab
sub-budaya atau kebiasaan yang menghubungkan faktor kemiskinan
disebabkan oleh kehidupan sehari-hari yang dipelajari atau dijalankan
dalam lingkungannya. Karena lingkungannya sudah seperti itu, orang pun
secara tidak sengaja akan menjalani pola hidup yang sama. Misalnya,
penduduk suatu daerah bekerja sebagai tukang bangunan. Maka, secara
tidak disadari, hal ini menular kepada penduduk yang lain. Selain itu,
kita sering menjumpai orang yang berjualan berasal dari suatu daerah
yang sama.
C. Pertumbuhan ,kesenjangan dan kemiskinan
1. Pertumbuhan
Salah
satu penyebab utama rendahnya kualitas pertumbuhan adalah korupsi.
Praktik-praktik korupsi di segala lini kehidupan menyebabkan investasi
terhambat. Pengusaha membutuhkan dana lebih besar untuk menjalankan
usahanya.Di masa Orde Baru yang kita yakini tingkat korupsinya sangat
parah, pengusaha masih bisa meraup laba karena persaingan dari luar
negeri dibatasi dengan berbagai bentuk perlindungan.Korupsi juga
menyebabkan kualitas infrastruktur rendah. Penggelembungan nilai proyek dan pemotongan standar baku yang dipersyaratkan dalam kontrak membuat kualitas bangunan sangat buruk sehingga cepat rusak.
Selanjutnya,
pertumbuhan yang tidak berkualitas akan membuat hampir separuh penduduk
rentan terhadap gejolak ekonomi. Sedikit saja harga-harga pangan naik
membuat penduduk yang nyaris miskin jadi benar-benar miskin, tak lagi
mampu menopang kebutuhan hidup minimumnya: 2.100 kalori per kapita
sehari ditambah dengan pendidikan dasar dan kesehatan dasar.Kalau
sekadar mengurangi kemiskinan, pemerintah bisa saja memberikan bantuan
langsung tunai, pelayanan kesehatan, dan pendidikan dasar gratis. Namun,
mengisi kemerdekaan tak cukup sampai di situ. Yang harus dilakukan
adalah memerangi kemiskinan, membongkar akar-akar kemiskinan.
2. Kesenjangan
Kesenjangan
adalah adanya jarak yang cukup jauh antara 2 karakter atau keberadaan
oranng yang berbeda baik dari sector ekonomi,social,dan lain sebagainya.
Dari sisi ekonomi masyarakat, terdapat kesenjangan yang mencolok antara
yang kaya dengan yang miskin. Orang kaya jumlahnya makin banyak dan
kekayaannya makin banyak pula. Tak mau kalah, jumlah orang miskin pun
makin membengkak.
Dari
sisi pendidikan pun terdapat kesenjangan, baik antarsekolah, maupun
antara prestasi individual dan kondisi pendidikan secara umum. Lihat
saja sekolah yang ambruk dengan sekolah yang megah. Tentu di sekolah
yang reot itu tidak tersedia perangkat pendidikan yang memadai.
Jangankan komputer, buku saja terbatas.
3. Kemiskinan
Kemiskinan
adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh
kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami
istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
D. Kemiskinan di Indonesia
Permasalahan
yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh pemerintah indonesia saat ini
adalah kemiskinan, disamping masalah-masalah yang lainnya. dewasa ini
pemerintah belum mampu menghadapi atau menyelesaikan permasalahan
kemiskinan.
Menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:1) upaya
menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia telah dimulai awal tahun
1970-an diantaranya melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) dan
Bantuan Desa (Bandes). Tetapi upaya tersebut mengalami tahapan jenuh
pada pertengahan tahun 1980-an, yang juga berarti upaya penurunan
kemiskinan di tahun 1970-an tidak maksimal, sehingga jumlah orang miskin
pada awal 1990-an kembali naik. Disamping itu kecenderungan
ketidakmerataan pendapatan nasional melebar yang mencakup antar sektor,
antar kelompok, dan ketidakmerataan antar wilayah.
Berdasarkan
data Bank Dunia jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2002
bukanlah 10 sampai 20% tetapi telah mencapai 60% dari jumlah penduduk
Indonesia yang berjumlah 215 juta jiwa.
Hal
ini diakibatkan oleh ketidakmampuan mengakses sumber-sumber permodalan,
juga karena infrastruktur yang juga belum mendukung untuk dimanfaatkan
masyarakat memperbaiki kehidupannya, selain itu juga karna SDM, SDA,
Sistem, dan juga tidak terlepas dari sosok pemimpin. Kemiskinan harus
diakui memang terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah
Indonesia sebagai negara bangsa, bahkan hampir seluruh energi dihabiskan
hanya untuk mengurus persoalan kemiskinan. Yang menjadi pertanyaan
sekarang ini adalah, mengapa masalah kemiskinan seakan tak pernah habis,
sehingga di negara ini, rasanya tidak ada persoalan yang lebih besar,
selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak
tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai
kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya
akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya
jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus
perpindahan dari desa ke kota dengan tujuan memperbaiki kehidupan, dan
yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi
kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
E. Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
Ada sejumlah cara mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dapat dibagi
kedalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic
dominance. Yang sering digunakan didalam literatur adalah dari kelompok
pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yakni the generalized entropy
(GE), ukuran Atkinson dan koefisien Gini. Rumus dari GE dapat diuraikan
sebagai berikut :
n
GE (α) = (1 / ( α2 – α | (1 / n) ∑ (yi / Y^)α – 1 |
i=1
Bank dunia mengklasifikasikan ketidakmerataan berdasarkan tiga lapisan:
1 40 % penduduk berpendapatan terendahè Penduduk termiskin
2 40 % penduduk berpendapatan menengah
3 20 % penduduk berpendapatan tinggi.
Untuk
mengukur kemiskinan ada tiga indicator yang diperkenalkan oleh foster
dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak study empiris. Pertama ,
the incidence of poverty: persentase dari populasi yang hidup didalam
keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis
kemiskinan. Indeksnya sering disebut rasio H. kedua, the depth of
poverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan (IJK), atau dikenal
dengan sebutan poverty gap index. Indeks ini megestimasikan jarak/
perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan
sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan
formula berikut.
Pa = (1/n) ∑i[(z – yi)/ z]a untuk semua yi < z
F. Kebijakan Anti Kemiskinan
Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan.
2. Pemerintahan yang baik (good governance)
3. Pembangunan sosial
Untuk
mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah
yang sesuai dengan sasaran atau tujuan antaranya. Sasaran atau tujuan
tersebut dapat dibagi menurut waktu, yakni jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
Intervensi jangka menengah dan panjang yang penting adalah sebagai berikut .
1. Pembangunan Sektor Swasta
Peranan
aktif sektor ini sebagai motor utama penggerak ekonomi/sumber
pertumbuhan dan penentu daya saing perekonomian nasional harus
ditingkatkan.
2. Kerjasama Regional
Hal
ini menjadi sangat penting dalam kasus indonesia sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah. Kerja sama yang baik dalam segala hal, baik
di bidang ekonomi, industri, dan perdagangan, maupun nonekonomi (seperti
pembangunan sosial), bisa memperkeci kemungkinan meningkatnya gap antara provinsi-provinsi yang kaya dan provinsi-provinsi yang tidak punya (miskin) SDA.
3. Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan Administrasi
Perbaikan
manajemen pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan publik, termasuk juga
sistem administrasinya, sangat membantu usaha untuk meningkatkan cost effectiveness dari
pengeluaran pemerintah untuk membiayai
penyediaan/pembangunan/penyempurnaan fasilitas-fasilitas umum, seperti
pendidikan, kesehatan, olah raga, dan lain-lain
4. Desentralisasi
Tidak
hanya desentralisasi fiskal, tetapi juga dalam penentuan
strategi/kebijakam pembangunan ekonomi dan sosial daerah sangat membantu
usaha pengurangan kemiskinan di dalam negeri. Desentralisasi seperti
itu memberi suatu kesempatan besar bagi masyarakat daerah untuk aktif
berperan dan dapat menentukan sendiri strategi atau pola pembagunan
ekonomi dan sosial di daerah sesuai faktor-faktor keunggulan komparatif
dan kompetitif yang dimiliki masing-masing daerah.
5. Pendidikan dan Kesehatan
Tidak
diragukan lagi, pendidikan dan kesehatan yang baik bagi semua anggota
masyarakat di suat negara merupakan prakondisi bagi keberhasilan dari
anti-poverty policy dari pemerintah negara tersebut. Oleh karena itu,
penyediaan pendidikan (terutama dasar) dan pelayanan kesehatan adalah
tanggung jawab mutlak dari pemerintah di mana pun, baik di DCs maupun
LDCs. Pihak swasta bisa membantu dalam penyediaan tersebut, tetapi tidak
mengambilalih peranan pemerintah tersebut.
6. Penyediaan Air Bersih dan Pembangunan Perkotaan
Sama
seperti penyediaan pendidikan dasar dan kesehatan, penyediaan air
bersih dan pembangunan perkotaan, terutama pembangunan
fasilitas-fasilitas umum/utama, seperti pemukiman/perumahan bagi
kelompok masyarakat miskin, fasilitas sanitasi dan transportasi,
sekolah, kompleks olah raga, dan infrastruktur fisik (seperti jalan
raya, waduk, listrik, dan sebagainya), merupakan intervensi yang efektif
untuk mengurangi tingkat kemiskinan, terutama di perkotaan.
BAB 8 dan 9
Pembangunan Ekonomi Daerah
Dan
Otonomi Daerah
A. Undang Undang Otonomi Daerah
UU otonomi daerah itu
sendiri merupakan implementasi dari ketentuan yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan otonomi daerah
sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan pelaksanaan
pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi daerah
di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan
daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pembentukan UU Otonomi Daerah untuk
mengatur mengenai susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan
daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18
ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan
tersebut diatas menjadi payung hukum bagi pembentukan UU otonomi daerah
di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi dasar bagi
pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah
undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Otonomi daerah di Indonesia
dilaksanakan segera setelah gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun
1999 UU otonomi daerah mulai diberlakukan. Pada tahap awal
pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan
berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar
terhadap struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-
§ Otonomi Daerah Dalam UU Pemerintahan Daerah Yang Silih Berganti
Gagasan
untuk merevisi UU No.22/1999 itu pun kemudian direalisasikan yakni
dengan diundangkannya UU No.32 /2004. Revisi atas UU 22/1999 yang hanya
baru beberapa tahun itu sekaligus menunjukkan soal otonomi daerah
bergantung pada “selera” politik dan kekuasaan. Meskipun dalam
penjelasan UU No 32/2004 diangkat beberapa alasan untuk melakukan
perubahan UU No 22/1999 berupa Tap MPR dan perubahan UUD 1945 tetapi
secara subtansial revisi atas UU No 22/1999 lebih cenderung dilatar
belakang politis melihat apa yang berkembang pada penyelenggaraan
otonomi daerah dibawah UU No 22/1999. Hal ini dengan mudah bisa
ditunjukkan, yakni dengan memperhatikan rumusan otonomi daerah dari
kedua UU tersebut. Dalam UU No.22 /1999 otonomi daerah diartikan
sebagai;
“Otonomi
Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Rumusan
terhadap otonomi daerah yang dalam UU No 22/1999 diawali dengan frase
“otonomi daerah adalah kewenangan daerah…. “, tetapi tidak demikian
halnya dengan otonomi daerah dalam UU No.32/2004 yang menyebutkan;
“Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Dari
perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah antara UU No 22/1999 dan UU
No.32/2004 itu mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada sejumlah UU
yang mengatur tentang pemerintahan daerah sebelum reformasi yang
senantiasa memberikan rumusan terhadap otonomi daerah yang berbeda-beda
antara satu undang-undang dengan undang yang lainnya. Pengertian otonomi
daerah dalam UU No 32 Tahun 2004 sepertinya mengadopsi kembali rumusan
otonomi daerah dalam UU No 5 Tahun 1974. Dalam hubungan ini UU No 5
Tahun 1974 menyebutkan;
“Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”
Dengan
adanya perbedaan rumusan mengenai otonomi daerah pada UU No 32 Tahun
2004 tersebut dan sepertinya nyaris mengadopsi kembali rumusan otonomi
daerah dalam UU No 5 Tahun1975 lagi-lagi memperlihatkan betapa soal
otonomi daerah selalu terserat arus politik dan kekuasaan. Hal ini
sekaligus memperlihatkan adanya gerakan menjauh dari makana pemberian
otonomi kepada yang utama untuk memajukan kesejahteraan masyarakat
daerah , tetapi otonomi daerah lebih cenderung dibangun dibawah
kepentingan politik dan kekuasaan. Belakangan UU No 32 Tahun 2004 bakal
direvisi lagi, artinya otonomi daerah di Indonesia masih akan berada
dalam situasi pasang surut
B. Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
§ Pengertian Perubahan APBD
Perubahan
APBD merupakan penyesuaian target kinerja dan/atau prakiraan/rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang telah ditetapkan sebelumnya
untuk dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD serta ditetapkan dengan peraturan daerah.
daerah dan DPRD serta ditetapkan dengan peraturan daerah.
Menurut
penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Kepala Daerah (bbupati/walikota)
selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan, pemerintahan juga bertindak
sebagai pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah.
Selanjutnya,
kekuasaan tersebut dilimpahkan kepada Kepala Satuan Kerja Pengelolaan
Keuangan Daerah selaku pejabat pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan
oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah itu sendiri sebagai pengguna
anggaran//barang daerah dibawah koordinasi dari Sekretaris
Daerah. Pemisahan pelaksanaan APBD ini akan memberikan kejelasan dalam
pembagian wewenang dan tanggungjawab terlaksananya mekanisme
keseimbangan dan pengawasan dalam pelaksanaan anggaran daerah serta
untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan
tugas pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dana yang
tersedia dalam APBD harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat
menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi
kepentingan masyarakat.
Karena
penyusunan anggaran untuk setiap tahun tersebut sudah dimulai
dipersiapkan pada bulan juli setiap tahunnya, maka tidak mustahil
apabila pada pelaksanaannya APBD tersebut perlu perubahan atau
penyesuaian..
§ Kriteria Perubahan APBD
Perubahan
Peraturan Daerah tentang APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa. Perubahan
Peratturan Daerah tentang APBD dapat dilakukan apabila terjadi :
₰ Perkembangan
yang tidak sesuai dengan asumsi KUA. Perkembangan yang tidak sesuai
adalah pelampauan atau tidak tercapainya proyeksi pendapatan daerah,
alokasi belanja daerah, dan lain-lain
₰ Keadaan
yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja. Dapat dilakukan
dengan melakukan perubahan APBD.
₰ Keadaan
yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
dalam tahun berjalan. Merupakan sisa lebih perhitungan tahun anggaran
sebelumnya yang dapat digunakan untuk membayar bunga dan pokok utang,
mendanai kenaikan gaji dan tunjangan PNS, mendanai kegiatan lanjutan,
mendanai program dan kegiatan baru, serta mendanai kegiatan-kegiatan
yang capaian target kinerjanya ditingkatkan dari daerah yang telah
ditetapkan semula dalam DPA-SKPD tahun anggaran berjalan.
₰ Keadaan
darurat. Merupakan keadaan yang tidak biasa terjadi dan tidak
diinginkan terjadi secara berulang dan berada diluar kendali pemerintah.
Dalam situasi ini pemerintah daerah dapat mengguakan anggaran tidak
terduga.
₰ Keadaan
luar biasa. Merupakan keadaan yang menyebabkan estimasi penerimaan
dan/atau pengeluaran dalam APBD mengalami kenaikan d=atau penurunan
lebih besar dari 50% (lia puluh persen) yang didapat dari kenaikan
pendapatan atau efisiensi belanja.
§ Peranan Pendapatan Asli Daerah
PAD
harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan otonomi
daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi
kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah.
Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah.
Sebagaimana Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber
penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi
daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran
daerah, namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap
merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.
Pendapatan
Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya
masih kurang memadai. Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan
PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif rendah.
Sebagaimana yang dialami Pemerintah Kota Yogyakarta, selama kurun waktu
tahun anggaran 1991/1992 – 2000 proporsi PAD terhadap TPD rata-rata
sebesar 32,96 %. Proporsi sebesar ini sebenarnya tidaklah terlalu kecil
bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di seluruh Indonesia.
Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerjasama
dengan Badan Litbang Depdagri menunjukkan bahwa selama 5 tahun
(1986/1987 – 1989/1990) sebagian besar Daerah Kabupaten/Kota atau
sebanyak 173 Daerah Kabupaten/Kota (59,25 % dari seluruh Indonesia)
mempunyai angka prosentase PAD terhadap total penerimaan daerah di bawah
15 %.
Apabila
diamati lebih jauh, maka dapat dilihat di mana sebenarnya letak
kecilnya nilai PAD suatu daerah. Untuk mengetahui hal ini perlu
diketahui terlebih dahulu unsur-unsur yang termasuk dalam kelompok PAD.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri
dari :
1. hasil pajak daerah;
2. hasil retribusi daerah;
3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkannya;
4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Menurut Widayat (1994 : 31) faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penerimaan PAD antara lain adalah :
1. banyak
sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali oleh
instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB), dan
pajak bumi dan bangunan (PBB);
2. badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah;
3. kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi, dan pungutan lainnya;
4. adanya kebocoran-kebocoran;
5. biaya pungut yang masih tinggi;
6. banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan;
7. kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah.
Menurut
Jaya (1996 : 5) beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab utama
rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah
terhadap pusat, adalah sebagai berikut :
1. kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah;
2. tingginya
derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena semua jenis pajak
utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun tidak langsung
ditarik oleh pusat;
3. kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;
4. alasan
politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai sumber
keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan
separatisme;
5. kelemahan
dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang
hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada Pemerintah Daerah
merencanakan pembangunan di daerahnya.
Secara
umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa masalah rendahnya PAD
disebabkan lebih banyak pada unsur perpajakan. Lebih jauh mengenai
perpajakan dan permasalahannya perlu dikemukakan pendapat
Reksohadiprodjo (1996 : 74-78), yaitu bahwa beberapa masalah yang sering
dihadapi sistem pajak di daerah secara keseluruhan, di antaranya adalah
adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda antara daerah yang satu
dengan daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan dalam resources endowment,
tingkat pembangunan, dan derajat urbanisasi. Masalah lainnya adalah
terlalu banyaknya jenis pajak daerah dan sering tumpang tindih satu
dengan yang lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara pajak dengan
pungutan lainnya, dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.
Pada
akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh
besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada beberapa
faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana
pendapat yang dikemukakan oleh Kaho (1997 : 34-36) bahwa keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. faktor manusia;
2. faktor keuangan;
3. faktor peralatan;
4. faktor organisasi dan manajemen.
Salah
satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan
melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut.
Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk
melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara
mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat
dan Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut
untuk mampu membiayai dirinya sendiri.
Sebagaimana
dikemukakan di atas, bahwa tingkat kemandirian atau DOF (Derajat
Otonomi Fiskal) Kota Yogyakarta yang tercermin dari nilai proporsi
antara PAD dengan TPD rata-rata sebesar 32,96 %. Angka ini menggambarkan
bahwa peran PAD sebagai sumber utama pelaksanaan otonomi masih rendah,
karena sebagian besar penerimaan daerah (sebesar 67,04 %) masih dari
sumber lain di luar PAD.
Seiring
dengan besarnya tuntutan kepada daerah untuk dapat melaksanakan otonomi
daerah, maka tidak ada upaya lain kecuali mengoptimalkan peran PAD di
dalamnya. Oleh karena itu penelitian ini diharapkan dapat menjawab
bagaimana peran PAD dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kota Yogyakarta.
C. Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah
Pembangunan ekonomi daerah adalah
suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola
sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
(pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut.
Suatu daerah ditinjau dari aspek ekonomi, mempunyai 3 pengertian yaitu :
1. suatu daerah dianggap sebagai ruang dimana kegiatan ekonomiterjadi di dalam berbagai pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama seperti segi pendapatan perkapitanya, sosial budaya, geografisnya dsb. Daerah ini disebut daerah homogen.
2. suatu
daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu
atau beberapa pusat kegiatan ekonomi daerah. Daerah ini disebut daerah nodal.
3. suaru
daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berada dibawah suatu
administrasi tertentu seperti satu propinsi, kabupaten, kecamatan dsb
didasarkan pada pembagian administratif suatu negara. Daerah ini
disebut daerah perencanaan atau daerah administrasi.
§ Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Daerah
Pada
hakekatnya, inti dari teori-teori pertumbuhan tersebut berkisar pada
dua hal yaitu : pembahasan yang berkisar tentang metode dalam
menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas
tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah
tertentu
₰ Teori Ekonomi Neo Klasik
Teori
ini memberikan 2 konsep pokok dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu
keseimbangan (equilibirium) dan mobilitas faktor produksi. Artinya,
sistem perekonomian akan mencapai keseimbangan alamiahnya jika modal
bisa mengalir tanpa restriksi (pembatasan). Oleh karena itu, modal akan
mengalir dari daerah yang berupah tinggi menuju ke daerah yang berupah
rendah.
₰ Teori Basis Ekonomi
Teori
ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu
daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan
jasa dari luar daerah. Kelemahan model ini adalah bahwa model ini
didasarkan pada permintaan eksternal bukan internal. Pada akhirnya aklan
menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
kekuatan-kekuatan pasar secara nasional maupun global.
₰ Teori Lokasi
Para
ekonomi regional sering mengatakan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan daerah yaitu lokasi, lokasi, dan lokasi! Pernyataan
tersebut sangat masuk akal jika dikaitkan dengan pengembangan kawasan
industri. Perusahaan cenderung untuk meminimumkan biaya-biayanya dengan
cara memilih lokasi yang memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar.
Keterbatasan dari teori ini pada saat sekarang adalah bahwa teknologi
dan komunikasi modern telah mengubah signifikan suatu lokasi tertentu
untuk kegiatan produksi dan distribusi barang.
₰ Teori Tempat Sentral
Setiap
tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang
menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku). Tempat sentral
tersebut merupakan suatu pemukiman yang mneyediakan jasa-jasa bagi
penduduk daerah yang mendukungnya.
₰ Model Daya Tarik
Teori
daya tarik industri adalah model pembanguna ekonomi yang paling banyak
digunakan oleh masyarakat. Teori ekonomi yang medasarinya adalah bahwa
suatu masyarakat dapat memperbaiki posisi pasarnya terhadap industrialis
melalui pemberian subsidi dan insentif.
§ Paradigma Baru Teori Pembangunan Daerah
KOMPONEN
|
KONSEP LAMA
|
KONSEP BARU
|
Kesempatan Kerja
|
Semakin banyak perusahaan semakin banyak peluang kerja
|
Perusahaan harus mengembangkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisi penduduk daerah
|
Basis Pembangunan
|
Pengembangan sektor ekonomi
|
Pengembangan lembaga-lemabaga ekonomi baru
|
Aset-aset Lokasi
|
Keunggulan komparatif didasarkan pada aset fisik
|
Keunggulan kompetitif didasarkan pada kualitas lingkungan
|
Sumberdaya pengetahuan
|
Ketersediaan Angkat kerja
|
Pengetahuan sebagai pembangkit ekonomi
|
§ Perencanaan Pembangunan Daerah
Perencanaan
pembanguna nekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk
memperbaiki penggunaan sumberdaya-sumberdaya publik yang tersedia di
daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam
menciptatakn nilai sumberdaya-sumberdaya swasta secara bertanggung
jawab.
Hirschman
(1958) mengemukakan bahwa jika suatu daerah mengalami perkembangan,
maka perkembangan itu askan membawa pengaruh atau imbas ke daerah lain.
Campur
tangan pemerintah (perencanaan) untuk pembangunan daerah-daerah
mempunyai manfaat yang sangat tinggi disamping mencegah jurang
kemakmuran antara daerah, melestarikan kebudayaan setempat dapat juga
menghindarkan perasaan tidak puas masyarakat. Kalau masyarakat sudah
tenteram dapat membantu terciptanya kestabilan dalam masyarakat terutama
kestabilan politik, pada kestabilan dalam masyakarat merupakan syarat
mutlak jika suatu negara hendak mengadakan pembangunan negara secara
mantap.
§ TAHAP-TAHAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Menurut Blakely (1989), ada 6 tahap dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi daerah yaitu:
TAHAP
|
KEGIATAN
|
I
|
Pengumpulan dan Analisis Data
ì Penentuan Basis Ekonomi
ì Analisis Struktur Tenaga Kerja
ì Evaluasi Kebutuhan Tenaga Kerja
ì Analisis Peluang dan Kendala Pembangunan
ì Analisis Kapasitas Kelembagaan
|
II
|
Pemilihan Strategi Pembangunan Daerah
ì Penentuan Tujuan dna Kriteria
ì Penentuan Kemungkinan-kemungkinan Tindakan
ì Penyusunan Strategi
|
III
|
Pemilihan Proyek-proyek Pembangunan
ì Identifikasi Proyek
ì Penilaian Viabilitas Proyek
|
IV
|
Pembuatan Rencana Tindakan
ì Prapenilaian Hasil Proyek
ì Pengembangan Input Proyek
ì Penentuan Alternatif Sumber Pembiayaan
ì Identifikasi Struktur Proyek
|
V
|
Penentuan Rincian Proyek
ì Pelaksanaan Studi Kelayakan Secara Rinci
ì Penyiapan Rencana Usaha (Busisness Plan)
ì Pengemabangan, Monitoring dan Pengevaluasian Program
|
VI
|
Persiapan Perencanaan Secara Keseluruhan dan Implementasi
ì Penyiapan skedul Implementasi Rencana Proyek
ì Penyusunan Program Pembangunan Secara Keseluruhan
ì Tergeting dan Marketing Aset-aset Masyarakat
ì Pemasaran Kebutuhan Keuangan
|
§ PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN DAERAH
Ada 4 peran yang diambil oleh pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu :
1. Entrepreneur
Pemerintah
daerah bertanggungjawab untuk menjalankan suatu usaha bisnis seperti
BUMD yan harus dikelola lebih baik sehingga secara ekonomis
menguntungkan.
2. Koordinator
Untuk
menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi
pembangunan didaerahnya. Dalam peranya sebagia koordinator, pemerintah
daerah bisa juga melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia
usaha dan masyarakat dalam penyusunan sasaran-sa\saran konsistensi
pembangunan daerah dengan nasional (pusat) dan menjamin bahwa
perekonomian daerah akan mendapatkan manfaat yang maksimum daripadanya.
3. Fasilitator
Pemerintah
daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan
didaerahnya, hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur
perencanaan serta pengaturan penetapan daerah (zoning) yang lebih baik.
4. Stimulator
Pemerintah
daerah dapat menstumulasi penciptaan dan pengembangan usaha melalui
tindakan-tindakan khusus yang akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan
untuk masuk ke daerah tersebut dan menjaga agar perusahaan yang telah
ada tetap berada di daerah tersebut.
D. Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah
a) Konsentrasi Kegiatan ekonomi
Konsentrasi
kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah.
Ekonomi daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung
tumbuh pesat. Sedangkan daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah
cenderung mempunyai tingkat pembanguan dan pertumbuhan ekonomi yang
lebih rendah.
Sebenarnya
ada 2 masalah utama dalam pembanguna ekonomi nasional selama ini. Yang
pertama adalah semua kegiatan ekonomi hanya terpusat pada satu titik
daerah saja, contohnya Jawa. Yang kedua adalah yang sering disebut
dengan efek menetes ke bawah tersebut tidak terjadi atau prosesnya
lambat. Banyak faktor yang mnyebabkan hal ini, seperti besarnya sebagian
input untuk berproduksi diimpor (M) dari luar, bukannya disuplai dari
daerah tersebut. Oleh karena itu, keteraitan produksi ke belakang yang
sangat lemah, sektor-sektor primer di daerah luar Jawa melakukan ekspor
(X) tanpa mengolahnya dahulu untuk mendapatkan NT. Hasil X pada umumnya
hanya banyak dinikmati di Jawa.
Jika keadaan ini terus dibiarkan maka, daerah di luar pulau Jawa akan rugi dan semakin miskin saja, karena:
1. Daerah akan kekurangan L yang terampil, K serta SDA yang dapat diolah untuk keperluan sendiri.
2. Daerah
akan semakin sulit dalam mengembangkan sektor non primer khususnya
industri manufaktur, dan akan semakin sulit mengubah struktur ekonominya
yang berbasis pertanian atau pertambangan ke industri.
3. Tingkat
pendapatan masyarakat di daerah semakin rendah sehingga pasar output
semakin lama, dan menyebabkan perkembangan investasi di daerah semakin
kecil.
Ketimpangan
dalam distribusi kegiatan ekonomi antarwilayah Indonesia terlihat jelas
dalam tidak meratanya pembagian kegiatan industri manifaktur antar
provinsi. Daerah Jawa didominasi oleh sektor-sektor yang memiliki NT
tinggi, khususnya industri manufaktur, sedangkan di luar Jawa didominasi
oleh sektor yang memiliki NT rendah, seperti pertanian. Karena
kepincangan struktur inilah terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi di
Indonesia. Dan industri di luar Jawa yang rendah disebabkan karena pasar
lokal yang kecil, infrastruktur yang terbatas, serta kurang SDM.
b) Alokasi Investasi
Indikator
lain juga yang menunjukkan pola serupa adalah distribusi investasi (I)
langsung, baik yang bersumber dari luar negeri (PMA) maupun dari dalam
negeri (PMDN). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar, bahwa
kurangnya I di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat
pendapatan masyarakat per kapita di wilayah tersebut menjadi rendah,
karena tidak adanya kegiatan ekonomi yang produktif, seperti industri
manufaktur.
Terpusatnya
I di wilayah Jawa, disebabkan oleh banyak faktor seperti kebijakan dan
birokrasi yang terpusat selama ini (terutama sebelum pelaksanaan otonomi
daerah daerah), konsentrasi penduduk di Jawa dan keterbatasan
infrastruktur serta SDM di wilayah luar Jawa. Persebaran sumber daya
alam tidak selamanya melimpah. Ada beberapa sumber daya alam yang
terbatas dalam jumlahnya dan dalam proses pembentukannya membutuhkan
jangka waktu yang relatif lama. Sumber daya alam merupakan segala
sesuatu yang tersedia di alam dan dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia.
Sumber daya alam secara umum dibagi menjadi 2, yaitu: sumber daya alam
yang dapat diperbarui dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
c) Mobilitas antar Faktor Produksi yang Rendah antar Daerah
Kehadiran
buruh migran kelas bawah adalah pertanda semakin majunya suatu negara.
Ini berlaku baik bagi migran legal dan ilegal. Ketika sebuah negara
semakin sejahtera, lapisan-lapisan masyarakatnya naik ke posisi ekonomi
lebih tinggi (teori Marxist: naik kelas).
Fenomena
“move up the ladder” ini dengan sendirinya membawa kepada konsekuensi
kosongnya lapisan terbawah. Walaupun demikian lapisan ini tidak bisa
dihilangkan begitu saja. Sebenarnya lapisan ini sangat substansial,
karena menopang “ladders” atau lapisan-lapisan yang berada di atasnya.
Lapisan inilah yang diisi oleh para migran kelas bawah. Salah satu pilar
ekonomi liberal adalah kebebasan mobilitas faktor produksi, termasuk
faktor buruh. Seharusnya yurisdiksi administratif negara tidak menjadi
penghalang mobilitas tersebut. Namun, tetap saja perpindahan ini perlu
ditinjau dan dikontrol agar tetap teratur.
d) Perbedaan SDA antar Provinsi
Dasar
pemikiran klasik mengatakan bahwa pembanguan ekonomi di daerah yang
kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan
dengan daerah yang miskin SDA. Sebenarnya samapai dengan tingkat
tertebntu pendapat ini masih dapat dikatakan, dengan catatan SDA
dianggap sebagai modal awal untuk pembangunan. Namun, belum tentu juga
daerah yang kaya akan SDA akan mempunyai tingkat pembanguan ekonomi yang
lebih tinggi juga jika tidak didukung oleh teknologi yang ada
(T).Penguasaan T dan peningkatan taraf SDM semakin penting, maka
sebenarnya 2 faktor ini lebih penting daripada SDA. Memang SDA akan
mendukung pembangunan dan perkembangan, tetapi akan percuma jika
memiliki SDA tapoi minim dengan T dan SDM.
Program
desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus
berhasil dengan baik. Keragaman kemampuan dalam pelaksanaannya harus
didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut
kemampuan daerah.
Dalam
proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi
yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai sebaliknya malah akan
mengganggu pemulihan ekonomi yang pada gilirannya akan merugikan
pembangunan ekonomi daerah sendiri. Oleh karena itu, proses
desentralisasi tidak perlu diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah
pengembangan kelembagaan dan kemampuan, termasuk untuk pengembangan
kebijakan, pada tingkat daerah, khususnya daerah Tingkat II. Hal ini
merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama dan
dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi
daerah yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang
kompetitif dan efisien.
Pembangunan
ekonomi yang efisien membutuhkan secara seimbang perencanaan yang lebih
teliti mengenai penggunaan sumber daya publik dan sektor swasta:
petani, pengusaha kecil, koperasi, pengusaha besar, organisasi sosial
harus mempunyai peran dalam proses perencanaan.
e) Perbedaan Kondisi Demografis antar Provinsi
Kondisi
demografis antar provinsi berbeda satu dengan lainnya, ada yang
disominasi oleh sektor pertanian, ada yang didominiasi oleh sektor
pariwisata, dan lain sebagainya. Perbedaan kondisi demografis ini
biasanya menyebabkan pembangunan ekonomi tiap daerah berbeda-beda.
Contoh kasusnya, kita tengok ke daerah Tegal. Penduduk Kota Tegal pada
tahun 2007 adalah 247,076 jiwa yang terdiri dari laki-laki 123.792 jiwa
(50,10 %) dan perempuan 123,284 jiwa (49,90 %) dengan laju pertumbuhan
0,55 % per tahun, sedangkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun )
170.124 jiwa (68,86 %).
Ternyata
kepadatan penduduk rata – rata di Kota Tegal pada tahun 2007 sebesar
6.193 jiwa/Km² dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kelurahan Kejambon
sebesar 13.723 jiwa/Km² dan kepadatan terendah di Kelurahan Muarareja
sebesar 750 jiwa/Km².
Jumlah
penduduk usia kerja di Kota Tegal tahun 2007 tercatat berjumlah 204.517
dengan jumlah angkatan kerja sebesar 168.575 jiwa atau 82,43 % yang
terdiri dari 87.537 jiwa laki-laki dan 81.038 jiwa perempuan. Dari
jumlah tersebut 112.660 sudah bekerja dan 55.915 tidak bekerja.
Mata
pencaharian penduduk Kota Tegal menurut jenis mata pencahariannya
adalah petani sendiri 3.739 orang, buruh tani 6.457 orang, nelayan
12.013 orang, pengusaha 2.303 orang, buruh industri 20.310 orang, buruh
bangunan 18.704 orang, pedagang 21.887 orang, pengangkutan 6.687 orang,
PNS/ABRI 9.223 orang, pensiunan 4.473 orang dan lain-lain 11.930 orang.
Sektor
pendidikan merupakan salah satu prioritas utama kebijakan Pemerintah
Kota Tegal, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas dan
kualitas sumber daya manusia. Pembangunan sektor ini diarahkan kepada
penyediaan sarana dan prasarana serta memberikan kemudahan akses
pendidikan kepada masyarakat.
Kebijakan-kebijakan
strategis yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tegal secara
bertahap sejak tahun 2000 sampai dengan saat ini untuk mendukung
pembangunan sektor pendidikan formal antara lain yaitu pembangunan
sarana dan prasarana fisik, pemberian bea siswa, pembebasan biaya
pendidikan untuk tingkat sekolah dasar dan lanjutan tingkat I,
penyediaan buku pelajaran serta peningkatan kualitas tenaga pengajar
melalui pelatihan dan penyetaraan kualifikasi pendidikan guru. Pada
tahun 2007 tamatan pendidikan untuk SD sebanyak 4.214 jiwa, SLTP 3.780
jiwa, dan SLTA 3.435 jiwa.
f) Kurang Lancarnya Perdagangan antar Provinsi
Kurang
lancarnya perdagangan antar daerah juga menyebabkan ketimpangan ekonomi
regional di Indonesia. Pada umumnya ketidaklancaran tersebut disebabkan
karena keterbatasan transportasi dan komunikasi. Perdagangan
antarprovinsi meliputi barang jadi, barang modal, input perantara, dan
bahan baku untuk keperluan produksi dan jasa. Ketidaklancaran
perdagangan ini mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan lewat sisi
permintaan (Demand) dan sisi penawaran (Supply). Dari sisi
permintaan, kelangkaan akan barang dan jasa akan berdampak juga pada
permnitaan pasar terhadap kegiatan eonomi lokal yang sifatnya
komplementer dengan barang tersebut. Sedangkan dari sisi penawaran,
sulitnya memperoleh barang modal seperti mesin, dapat menyebabkan
kegiatan ekonomi di suatu provinsi menjadi lumpuh, selanjutnya dapat
menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah.
BAB 10
Sektor Pertanian
A. TAHAP-TAHAP PEMBANGUNAN PERTANIAN
ì Pertanian tradisional yang produktivitasnya rendah.
ì Penganekaragaman
produk pertanian sudah mulai terjadi dimana produk pertanian sudah ada
yang dijual ke sector komersial tetapi masih memakai modal dan teknologi
yang rendah.
ì Pertanian modern yang produktivitasnya tinggi karena memakai modal dan teknologi yang tinggi pula.
Perkembangan sektor pertanian di negara lain ditempuh melalui tiga kemungkinan pola atau jalur yaitu :
ì Jalur kapitalistik
ì Jalur sosialistik
ì Jalur koperasi semi kapitalistik
Pertanian
pada negara sedang berkembang (DCs) menurut Kuznets memiliki empat
kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional :
- Ekspansi dari sector-sektor ekonomi lainnya sangat bergantung pada pertumbuhan output di sector pertanian, baik dari :
₰ Sisi permintaan
₰ Sisi penawaran
- Pada negara agraris (seperti Indonesia), pertanian berperan sebagai sumber penting bagi pertumbuhan permintaan domestic bagi produk-produk dari sector ekonomi lainnya.
- Sebagai suatu sumber modal untuk investasi pada sector-sektor ekonomi lainnya. Selain itu menurut teori penawaran tenaga kerja (L) tak terbatas dari Arthur Lewis, dan dalam proses pembangunan ekonomi, terjadi transfer surplus tenaga kerja dari pertanian (pedesaan) ke industri dan sector-sektor perkotaan lainnya.
- Sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (sumber devisa), melalui ekspor hasil-hasil pertanian atau pun dengan peningkatan produksi pertanian dalam negeri menggantikan impor (substitusi impor).
§ Nilai tukar petani (NTP)
NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Nilai tukar petani merupakan salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani.
₰ Secara umum NTP menghasilkan 3 pengertian :
ì NTP
> 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu lebih baik
dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar, dengan kata lain petani
mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga
konsumsinya. Pendapatan petani naik dan menjadi lebih besar dari
pengeluarannya.
ì NTP
= 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu sama dengan NTP pada
tahun dasar, dengan kata lain petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan
harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga
barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.
ì NTP
< 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu menurun dibandingkan
NTP pada tahun dasar, dengan kata lain petani mengalami defisit.
Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan
harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun dan lebih kecil dari
pengeluarannya.
Nilai
tukar petani dapat bervariasi di setiap daerah dan berfluktuasi seiring
waktu. Nilai tukar petani dihitung secara skala nasional maupun lokal.
Nilai tukar petani secara nasional pada periode Oktober 2013 mengalami
peningkatan 0.71% dari 104,56 poin pada periode September 2013 ke 105,30
poin namun secara lokal, misal di Jambi, didapatkan hasil yang berbeda.
Di Jambi pada periode yang sama nilai tukar petani naik sebesar 0,63
persen dibanding bulan sebelumnya yaitu dari 87,56 point menjadi 88,11
point pada Oktober 2013
§ Invetasi di Sektor Pertanian
Investasi
pada sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting
dalampencapaian target-target perekonomian Indonesia.Hal ini mengingat
bahwa sektorpertanian merupakan sektor andalan bagi perekonomian
Indonesia yang memilikifungsi yang sangat fundamental bagi pembangunan
di Indonesia yaitu
1. mencukupipangan dalam negeri dengan jumlah penduduk yang sangat besar,
2. penyediaanlapangan kerja dan berusaha bagi penduduknya,
3. penyedia bahan baku industri,serta
4. sebagai salah satu penghasil devisa bagi negara.
§ Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur
Jika
mau berkaca dari negara yang telah lebih dahulu maju dibanding dengan
Indonesia, pada awalnya mereka (negara-negara maju) menitikberatkan
pembangunan perekonomian mereka pada sektor pertanian untuk kemudian
dikembangkan dan beralih perlahan-lahan menjadi sektor industri.
Perubahan ini tidak berlangsung secara tiba-tiba melainkan dengan
serangkaian proses yang panjang dan tentunya pertanian dijadikan sebagai
pondasi, baik sebagai penyedia bahan baku maupun modal untuk membangun
industri.
Berkaca
pada krisis yang telah terjadi, proses industrialisasi yang
didengung-dengungkan pemerintah kurang mendapat moment yang tepat. Pada
akhirnya Indonesia yang direncanakan akan menjadi negara industri-dalam
waktu yang tidak lama lagi, tidak terwujud hingga saat sekarang ini.
Melihat
kenyataan itu, sudah seharusnya kita memutarbalikkan kemudi ekonomi
untuk mundur selangkah merencanakan dan kemudian melaksanakan dengan
disiplin setiap proses yang terjadi. Yang terpenting yaitu harus dapat
dipastikan bahwa sektor pertanian mendapat prioritas dalam proses
pembangunan tersebut. Mengingat, sampai dengan saat ini negara-negara
maju pun tidak dapat meninggalkan sektor pertanian mereka, hingga kalau
sekarang kita coba melihat sektor pertanian sekelas negara maju, sektor
pertanian mereka mendapat proteksi yang besar dari negara dalam bentuk
subsidi dan bantuan lainnya.
Ada
beberapa alasan (yang dikemukakan oleh Dr.Tulus Tambunan dalam bukunya
Perekonomian Indonesia) kenapa sektor pertanian yang kuat sangat
esensial dalam proses industrialisasi di negara Indonesia, yakni sebagai
berikut :
1. Sektor
pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini merupakan
salah satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pada khususnya
dan pembangunan ekonomi pada umumnya bisa berlangsung dengan baik.
Ketahanan pangan berarti tidak ada kelaparan dan ini menjamin
kestabilan sosial dan politik.
2. Dari
sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yang kuat membuat
tingkat pendapatan rill per kapita disektor tersebut tinggi yang
merupakan salah satu sumber permintaan terhadap barang-barang nonfood,
khususnya manufaktur. Khususnya di Indonesia, dimana sebagaina besar
penduduk berada di pedesaan dan mempunyai sumber pendapatan langsung
maupun tidak langusng dari kegitan pertanian, jelas sektor ini merupakan
motor utama penggerak industrialisasi.
3. Dari
sisi penawaran, sektor pertanian merupakan salah satu sumber input bagi
sektor industri yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif.
4. Masih
dari sisi penawaran, pembangunan yang baik disektor pertanian bisa
menghasilkan surplus di sektor tersebut dan ini bisa menjadi sumber
investasi di sektor industri, khususnya industri berskala kecil di
pedesaan.
Ketika
hal ini berjalan dengan baik, maka kita dapat meningkatkan
produk-produk pertanian kita sejalan dengan peningkatan industri
manufaktur yang membutuhkan bahan baku yang kita produksi dari para
petani-petani kita. Maka dari itu, peningkatan pendapatan para petani
akan berkorelasi positif terhadap meningkatnya kesejahteraan petani dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
SUMBER
BAB 4
BAB 5
BAB 6/7
BAB 8/9
BAB 10
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/02/15/keterkaitan-pertanian-dengan-industri-manufaktur-439256.html
KELOMPOK 4 KELAS 1EB35
1. Bella Audina 22214102
2. Carina Suri 22214280
3. Fergiawan Risdiyanto 2D214054
4. Gilang Hardi Maulana 24214548
5. Hana Fitriani Nurnastiti 24214722
6. Hary Kresna 24214828
7. Husna Adhilah 25214022
8. Neng Sarah Fathima 27214893
9. Piani Akustik 28214438
10. Rian Kurnia Nugraha 29214221
11. Wisnu Ela Sanjaya 2C214303
1. Bella Audina 22214102
2. Carina Suri 22214280
3. Fergiawan Risdiyanto 2D214054
4. Gilang Hardi Maulana 24214548
5. Hana Fitriani Nurnastiti 24214722
6. Hary Kresna 24214828
7. Husna Adhilah 25214022
8. Neng Sarah Fathima 27214893
9. Piani Akustik 28214438
10. Rian Kurnia Nugraha 29214221
11. Wisnu Ela Sanjaya 2C214303
No comments:
Post a Comment